BETTER OFF WITHOUT HEART, struggling with HEART, HAVE divine blessing.

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter
  • rossi memorable photos while in Indonesia

    haaaa,,, cool .. photos when rossi come to Indonesia, many recordings that funny ..(koplak). It just sort of joke stress reliever. safely enjoy ...

  • our BECAK

    BECAK is OUR FRIENDLY ENVIRONMENT. In indonesia, Indonesian Call this "BECAK" ...

  • 10 accidents of the most famous formula 1.

    EIf talking about Formula 1, certainly not out of security talks about the race car with super high speed. Why Ayrton Senna (San Marino GP 1994) which crash visible light, was more fatal than a collision Robert Kubica (GP Canada 2007) that seems far more terrifying? Here are 10 of the many deaths in the history of Formula 1 that "establish" security Formula 1 today. ...

Twitter

Archive for 2010

Carol Yager: 727 kg

VIVAnews - Gaya hidup buruk dan makanan tak sehat mengakibatkan penderita obesitas kian bertambah. Dunia kedokteran mencatat ada lima orang terberat yang pernah ada di dunia kedokteran.

Berikut lima orang paling berat yang pernah sepanjang sejarah, seperti dikutip dari blindloop.com
Berat badan Carol pernah mencapai 727 kg, dan langsung masuk kategori terberat di dunia. Dia juga terkenal sebagai orang paling sukses menurunkan berat badan secara alami. Carol kehilangan 362 kg beratnya hanya dalam tiga bulan.

Namun serangan infeksi bakteri pada kulitnya yang menggelambir paska diet ketat. Carol pun mendapat perawatan di Hurley Medical Center hingga meninggal dunia. Yager tak dapat berdiri atau berjalan karena otot-ototnya tidak cukup kuat. Dia meninggal dalam usia muda, 34 tahun akibat gagal ginjal, kegagalan multi organ dan obesitas morbid, pada 1994.

Jon Brower Minnoch: 635 kg
Sejak kecil, Ayub Brower sudah menderita obesitas. Di usia 12 tahun beratnya telah mencapai 132 kg. Ia menikah dengan Jeannette, seorang wanita berat badan normal dan memiliki dua anak. Minnoch dirawat di rumah sakit selama 16 bulan dan kehilangan 419 kg. Namun ia kembali gemuk dan meninggal pada tanggal 10 September 1983, pada usia 42 tahun.

Manuel Uribe: 597 kg

Seperti penderita obesitas umumnya, Manuel Uribe menghabiskan 9 tahun terperangkap di tempat tidur sejak 2001-2009. Pada 2008, Uribe menikah dengan pujaan hatinya, Claudia di tempat tidurnya. Saat mengucap janji pernikahan, ia berkata, "Saya adalah bukti nyata bahwa Anda dapat menemukan cinta dalam keadaan apapun. Sekarang saya memiliki istri, berkeluarga dan hidup bahagia

Walter Hudson: 544 kg
Kebiasaan makan yang tak terkendali membuat warga Brooklyn, New York ini terserang obesitas sejak usia muda. Walhasil, Walter yang makin membengkak terjebak di pintu kamar hingga tim penyelamat harus menghancurkan dinding rumahnya. "Saya makan apapun." katanya soal penyebab tubuh jumbonya tersebut. Meski mengumumkan rencana pernikahan, Walter meninggal dunia beberapa minggu sebelum mengikrarkan sumpah pernikahan.

Rosalie Bradford: 544 kg
Tubuh raksasa Rosalie Bradford memang terlihat sejak masa kanak-kanak. 'Foodaholic' ini mencapai 92 kg di usia 14 tahun dan naik menjadi 140 kg pada ulangtahun ke-15. Rosalie menikah dan punya satu anak. Setelah menikah, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah dan semakin gemuk.

Sebagai upaya menguruskan badan, Rosalie menggunakan berbagai obat-obatan penurun berat badan hingga beratnya mencapai 136 kg. Dia meninggal pada tanggal 29 November 2006 di usia 63 tahun.


VIVAnews - Remaja di China sedang 'demam' hiasan ponsel yang cukup ekstrem untuk membuatnya terlihat lebih trendi. Salah satu hiasannya adalah kondom. Menurut salah satu murid di daerah Nanning, China, hiasan kondom menciptakan 'kesegaran' dan penting jika dalam keadaan darurat.

Pihak generasi yang lebih tua di Nanning, provinsi Guangxi, Selatan China, terkejut melihat tren ini. Mereka cukup kaget dengan makin terbukanya para remaja menunjukan identitas seksual mereka.

"Orangtua dan guru harus makin gencar memberikan pendidikan seksual pada remaja. Ini demi terpenuhinya pengetahuan remaja soal seks dan pastikan mereka tahu informasi yang benar. Ini demi melindungi mereka selama masa puber," kata Su Chang, psikolog senior dari Nanning City Next Generation of Educational Research seperti dikutip dari NY Daily News.

Hiasan kondom ini dijual dengan harga yang sangat murah, sekitar 5-20 yuan atau setara Rp6.800-27.200. Diperkirakan kualitas bahan dan keamanan kondom ini juga sangat rendah.

Kondom dengan brand "Interesting Imported Condoms" yang digunakan sebagai hiasan ponsel ini memang terlihat sangat unik karena kemasan dihiasi gambar animasi dan lambang horoskop. Tetapi tanpa dilengkapi informasi produk yang lengkap seperti nama pabrik pembuat dan tanggal kedaluarsa.
• VIVAnews

Chronic kidney disease (CKD), also known as chronic renal disease, is a progressive loss in renal function over a period of months or years. The symptoms of worsening kidney function are unspecific, and might include feeling generally unwell and experiencing a reduced appetite. Often, chronic kidney disease is diagnosed as a result of screening of people known to be at risk of kidney problems, such as those with high blood pressure or diabetes and those with a blood relative with chronic kidney disease. Chronic kidney disease may also be identified when it leads to one of its recognized complications, such as cardiovascular disease, anemia or pericarditis.[1]

Chronic kidney disease is identified by a blood test for creatinine. Higher levels of creatinine indicate a falling glomerular filtration rate and as a result a decreased capability of the kidneys to excrete waste products. Creatinine levels may be normal in the early stages of CKD, and the condition is discovered if urinalysis (testing of a urine sample) shows that the kidney is allowing the loss of protein or red blood cells into the urine. To fully investigate the underlying cause of kidney damage, various forms of medical imaging, blood tests and often renal biopsy (removing a small sample of kidney tissue) are employed to find out if there is a reversible cause for the kidney malfunction.[1] Recent professional guidelines classify the severity of chronic kidney disease in five stages, with stage 1 being the mildest and usually causing few symptoms and stage 5 being a severe illness with poor life expectancy if untreated. Stage 5 CKD is also called established chronic kidney disease and is synonymous with the now outdated terms end-stage renal disease (ESRD), chronic kidney failure (CKF) or chronic renal failure (CRF).[1]

There is no specific treatment unequivocally shown to slow the worsening of chronic kidney disease. If there is an underlying cause to CKD, such as vasculitis, this may be treated directly with treatments aimed to slow the damage. In more advanced stages, treatments may be required for anemia and bone disease. Severe CKD requires one of the forms of renal replacement therapy; this may be a form of dialysis, but ideally constitutes a kidney transplant.[1]



keep health our bodies...

Blood pressure is usually classified based on the systolic and diastolic blood pressures. Systolic blood pressure is the blood pressure in vessels during a heart beat. Diastolic blood pressure is the pressure between heartbeats. A systolic or the diastolic blood pressure measurement higher than the accepted normal values for the age of the individual is classified as prehypertension or hypertension.

Hypertension[6] has several sub-classifications including, hypertension stage I, hypertension stage II, and isolated systolic hypertension. Isolated systolic hypertension refers to elevated systolic pressure with normal diastolic pressure and is common in the elderly. These classifications are made after averaging a patient's resting blood pressure readings taken on two or more office visits. Individuals older than 50 years are classified as having hypertension if their blood pressure is consistently at least 140 mmHg systolic or 90 mmHg diastolic. Patients with blood pressures higher than 130/80 mmHg with concomitant presence of diabetes mellitus or kidney disease require further treatment.[5]

Hypertension is also classified as resistant if medications do not reduce blood pressure to normal levels.[5]

Exercise hypertension is an excessively high elevation in blood pressure during exercise.[7][8][9] The range considered normal for systolic values during exercise is between 200 and 230 mm Hg.[10] Exercise hypertension may indicate that an individual is at risk for developing hypertension at rest.[9][10]

(wikipedia)

Hypertension (HTN) or high blood pressure is a chronic medical condition in which the systemic arterial blood pressure is elevated. It is the opposite of hypotension. It is classified as either primary (essential) or secondary. About 90–95% of cases are termed "primary hypertension", which refers to high blood pressure for which no medical cause can be found.[1] The remaining 5–10% of cases (Secondary hypertension) are caused by other conditions that affect the kidneys, arteries, heart, or endocrine system.[2]

Persistent hypertension is one of the risk factors for stroke, myocardial infarction, heart failure and arterial aneurysm, and is a leading cause of chronic kidney failure.[3] Moderate elevation of arterial blood pressure leads to shortened life expectancy. Dietary and lifestyle changes can improve blood pressure control and decrease the risk of associated health complications, although drug treatment may prove necessary in patients for whom lifestyle changes prove ineffective or insufficient.[4]

(wikipedia)

A stroke, previously known medically as a cerebrovascular accident (CVA), is the rapidly developing loss of brain function(s) due to disturbance in the blood supply to the brain. This can be due to ischemia (lack of blood flow) caused by blockage (thrombosis, arterial embolism), or a hemorrhage (leakage of blood).[1] As a result, the affected area of the brain is unable to function, leading to inability to move one or more limbs on one side of the body, inability to understand or formulate speech, or an inability to see one side of the visual field.[2]

A stroke is a medical emergency and can cause permanent neurological damage, complications, and even death. It is the leading cause of adult disability in the United States and Europe and it is the number two cause of death worldwide.[3] Risk factors for stroke include advanced age, hypertension (high blood pressure), previous stroke or transient ischemic attack (TIA), diabetes, high cholesterol, cigarette smoking and atrial fibrillation.[4] High blood pressure is the most important modifiable risk factor of stroke.[2]

A stroke is occasionally treated in a hospital with thrombolysis (also known as a "clot buster"). Post-stroke prevention may involve the administration of antiplatelet drugs such as aspirin and dipyridamole, control and reduction of hypertension, the use of statins, and in selected patients with carotid endarterectomy, the use of anticoagulants.[2] Treatment to recover any lost function is stroke rehabilitation, involving health professions such as speech and language therapy, physical therapy and occupational therapy.

Sinusitis sebagian besar sudah dapat didiagnosa hanya berdasarkan pada riwayat keluhan pasien serta pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter. Hal ini juga disebabkan karena pemeriksaan menggunakan CT Scan dan MRI yang walaupun memberikan hasil lebih akurat namun biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya kemerahan dan pembengkakan pada rongga hidung, ingus yang mirip nanah, serta pembengkakan disekitar mata dan dahi. Pemeriksaan menggunakan CT Scan dan MRI baru diperlukan bila sinusitis gagal disembuhkan dengan pengobatan awal. Rhinoskopi, sebuah cara untuk melihat langsung ke rongga hidung, diperlukan guna melihat lokasi sumbatan ostia. Terkadang diperlukan penyedotan cairan sinus dengan menggunakan jarum suntik untuk dilakukan pemeriksaan kuman. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan jenis infeksi yang terjadi.

Gejala sinusitis yang paling umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah wajah, serta demam. Hampir 25% dari pasien sinusitis akan mengalami demam yang berhubungan dengan sinusitis yang diderita. Gejala lainnya berupa wajah pucat, perubahan warna pada ingus, hidung tersumbat, nyeri menelan, dan batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala bertambah hebat bila kepala ditundukan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka penderita juga akan mengalami gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal pada mata, dan bersin bersin.


Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang terjadi (infeksi dan non infeksi). Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit kurang dari 30 hari. Sinusitis subakut bila lamanya penyakit antara 1 bulan sampai 3 bulan, sedangkan sinusitis khronis bila penyakit diderita lebih dari 3 bulan. Sinusitis infeksi biasanya disebabkan oleh virus walau pada beberapa kasus ada pula yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan sinusitis non infeksi sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi bahan bahan kimia. Sinusitis subakut dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat.


Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan pengeluaran cairan mukus. Adanya demam, flu, alergi dan bahan bahan iritan dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada ostia sehingga lubang drainase ini menjadi buntu dan mengganggu aliran udara sinus serta pengeluaran cairan mukus. Penyebab lain dari buntunya ostia adalah tumor dan trauma. Drainase cairan mukus keluar dari rongga sinus juga bisa terhambat oleh pengentalan cairan mukus itu sendiri. Pengentalan ini terjadi akibat pemberiaan obat antihistamin, penyakit fibro kistik dan lain lain. Sel penghasil mukus memiliki rambut halus (silia) yang selalu bergerak untuk mendorong cairan mukus keluar dari rongga sinus. Asap rokok merupakan biang kerok dari rusaknya rambut halus ini sehingga pengeluaran cairan mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di rongga sinus dalam jangka waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi hidupnya bakteri, virus dan jamur.


Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang pipi. Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Dinding sinus terutama dibentuk oleh sel sel penghasil cairan mukus. Udara masuk ke dalam sinus melalui sebuah lubang kecil yang menghubungkan antara rongga sinus dengan rongga hidung yang disebut dengan ostia. Jika oleh karena suatu sebab lubang ini buntu maka udara tidak akan bisa keluar masuk dan cairan mukus yang diproduksi di dalam sinus tidak akan bisa dikeluarkan.

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinusitis banyak ditemukan pada penderita hay fever yang mana pada penderita ini terjadi pilek menahun akibat dari alergi terhadap debu dan sari bunga. Sinusitis juga dapat disebabkan oleh bahan bahan iritan seperti bahan kimia yang terdapat pada semprotan hidung serta bahan bahan kimia lainnya yang masuk melalui hidung. Jangan dilupakan kalau sinusitis juga bisa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Tulisan kali ini lebih menitikberatkan pembahasan pada sinusitis yang disebabkan oleh infeksi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 126, Pasal 129, Pasal 138, Pasal 146, Pasal
150, Pasal 156, Pasal 160, Pasal 163, Pasal 165, dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya
manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
2. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan
dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait
dengan perjalanan kereta api.
3. Jaringan pelayanan perkeretaapian adalah gabungan lintas-lintas pelayanan perkeretaapian.
4. Lalu lintas kereta api adalah gerak sarana perkeretaapian di jalan rel.
5. Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan kereta api.
6. Awak sarana perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan di dalam kereta api oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian selama perjalanan kereta api.
7. Petugas pengatur perjalanan kereta api adalah orang yang melakukan pengaturan perjalanan kereta api
dalam batas stasiun operasi atau beberapa stasiun operasi dalam wilayah pengaturannya.
8. Petugas pengendali perjalanan kereta api adalah orang yang melakukan pengendalian perjalanan kereta
api dari beberapa stasiun dalam wilayah pengendaliannya.
9. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum
Indonesia yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan perkeretaapian.
10. Penyelenggara sarana perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian
umum.
11. Penyelenggara prasarana perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan prasarana
perkeretaapian.
12. Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur
kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan
bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.
13. Stasiun kereta api adalah tempat pemberangkatan dan pemberhentian kereta api.
14. Stasiun operasi adalah stasiun kereta api yang memiliki fasilitas untuk bersilang, menyusul kereta api
dan/atau langsir, dan dapat berfungsi untuk naik/turun penumpang dan/atau bongkar muat barang.
15. Grafik Perjalanan Kereta Api yang selanjutnya disebut Gapeka adalah pedoman pengaturan pelaksanaan
perjalanan kereta api yang digambarkan dalam bentuk garis yang menunjukkan stasiun, waktu, jarak,
kecepatan, dan posisi perjalanan kereta api mulai dari berangkat, bersilang, bersusulan, dan berhenti yang
digambarkan secara grafis untuk pengendalian perjalanan kereta api.
16. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945.
17. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan kereta api,
baik untuk angkutan orang maupun barang.
18. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan perkeretaapian.
BAB II
JARINGAN PELAYANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) Angkutan kereta api dilaksanakan pada jaringan jalur kereta api dalam lintas pelayanan kereta api yang
membentuk jaringan pelayanan perkeretaapian.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota; dan
b. jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan.
Pasal 3
(1) Pelayanan angkutan kereta api merupakan layanan kereta api dalam satu lintas atau beberapa lintas
pelayanan perkeretaapian yang dapat berupa bagian jaringan multimoda transportasi.
(2) Pelayanan angkutan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat komersial atau bersifat
penugasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Pasal 4
Lintas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;
b. kapasitas lintas yang dibutuhkan masyarakat;
c. kebutuhan jasa angkutan pada lintas pelayanan;
d. komposisi jenis pelayanan angkutan kereta api sesuai dengan tingkat pelayanan;
e. keterpaduan intra dan antarmoda transportasi;
f. jarak waktu antarkereta api (headway), jarak antara stasiun dan perhentian;
g. jarak pusat kegiatan dan pusat logistik terhadap terminal/stasiun; dan
h. ketersediaan waktu untuk perpindahan intra dan antarmoda.
Pasal 5
Jaringan pelayanan perkeretaapian merupakan kumpulan lintas pelayanan yang tersambung satu dengan yang
lain menghubungkan lintas pelayanan perkeretaapian dengan pusat kegiatan, pusat logistik, dan antarmoda.
Bagian Kedua
Jaringan Pelayanan Perkeretaapian Antarkota
Pasal 6
Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a merupakan
pelayanan yang menghubungkan:
a. antarkota antarnegara;
b. antarkota antarprovinsi;
c. antarkota dalam provinsi; dan
d. antarkota dalam kabupaten/kota.
Pasal 7
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarnegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian antarnegara.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
c dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh
gubernur.
(4) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf d dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api kabupaten/kota
ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pasal 8
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3), jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4), dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (4) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan
oleh gubernur.
Pasal 9
Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan:
a. menghubungkan beberapa stasiun antarkota;
b. tidak menyediakan layanan penumpang berdiri;
c. melayani penumpang tidak tetap;
d. memiliki jarak dan/atau waktu tempuh panjang;
e. memiliki frekuensi kereta api sedang atau rendah; dan
f. melayani kebutuhan angkutan penumpang dan/atau barang antarkota.
Bagian Ketiga
Jaringan Pelayanan Perkeretaapian Perkotaan
Pasal 10
Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yang
berada dalam suatu wilayah perkotaan dapat:
a. melampaui 1 (satu) provinsi;
b. melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan
c. berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
Pasal 11
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf a dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada
jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh gubernur.
(3) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta
api kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pasal 12
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi dan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
dan ayat (3) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan
oleh Menteri.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta
api provinsi ditetapkan oleh gubernur.
Pasal 13
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya menetapkan lintas pelayanan atas
permohonan penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dapat menolak permohonan penetapan
lintas pelayanan dalam hal lintas pelayanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Pasal 14
Dalam hal adanya kebutuhan angkutan pada suatu lintas pelayanan tertentu dan tidak terdapat permohonan dari
penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota dapat menetapkan lintas pelayanan.
Pasal 15
Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan:
a. menghubungkan beberapa stasiun di wilayah perkotaan;
b. melayani banyak penumpang berdiri;
c. memiliki sifat perjalanan ulang alik/komuter;
d. melayani penumpang tetap;
e. memiliki jarak dan/atau waktu tempuh pendek; dan
f. melayani kebutuhan angkutan penumpang di dalam kota dan dari daerah sub-urban menuju pusat kota
atau sebaliknya.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan jaringan pelayanan dan lintas pelayanan perkeretaapian
antarkota dan perkotaan diatur dengan peraturan Menteri.
BAB III
LALU LINTAS KERETA API
Bagian Kesatu
Prinsip Lalu Lintas Kereta Api
Pasal 17
(1) Jalur kereta api untuk kepentingan perjalanan kereta api dibagi dalam beberapa petak blok.
(2) Petak blok dibatasi oleh dua sinyal berurutan sesuai dengan arah perjalanan yang terdiri atas:
a. sinyal masuk dan sinyal keluar pada 1 (satu) stasiun;
b. sinyal keluar dan sinyal blok;
c. sinyal keluar dan sinyal masuk di stasiun berikutnya;
d. sinyal blok dan sinyal blok berikutnya; atau
e. sinyal blok dan sinyal masuk.
(3) Dalam 1 (satu) petak blok pada jalur kereta api hanya diizinkan dilewati oleh 1 (satu) kereta api.
(4) Dalam keadaan tertentu pada 1 (satu) petak blok pada jalur kereta api dapat dilewati lebih dari 1 (satu)
kereta api berdasarkan izin yang diberikan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api.
(5) Perjalanan kereta api yang memasuki petak blok yang di dalamnya terdapat kereta api atau sarana
perkeretaapian dilakukan dengan kecepatan terbatas dan pengamanan khusus.
Pasal 18
(1) Pengoperasian kereta api pada jalur ganda atau lebih harus menggunakan jalur kanan.
(2) Dalam keadaan tertentu, pengoperasian kereta api pada jalur ganda atau lebih dapat menggunakan jalur
kiri.
(3) Penggunaan jalur kiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. setelah mendapat perintah dari petugas pengatur perjalanan kereta api; atau
b. terdapat sinyal jalur kiri (sinyal berjalan jalur tunggal sementara) yang mengizinkan kereta api untuk
berjalan pada jalur kiri dengan kecepatan terbatas.
Pasal 19
(1) Kereta api yang berjalan langsung di stasiun dilewatkan pada jalur kereta api lurus, kecuali di stasiun
persimpangan untuk ke jalur tertentu, di peralihan jalur kereta api dari jalur ganda ke jalur tunggal dan
sebaliknya, atau stasiun yang tidak memiliki jalur lurus sesuai dengan peraturan pengamanan setempat.
(2) Dalam hal jalur kereta api lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilewati karena adanya
gangguan operasi, kereta api yang berjalan langsung dilewatkan melalui jalur kereta api belok dengan
kecepatan terbatas dan pengamanan khusus.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip lalu lintas kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Kecepatan dan Frekuensi Kereta Api
Pasal 21
Kecepatan maksimum kereta api ditentukan berdasarkan:
a. kecepatan maksimum yang paling rendah antara kecepatan maksimum kemampuan jalur dan kecepatan
maksimum sarana perkeretaapian; dan
b. sifat barang yang diangkut.
Pasal 22
(1) Untuk kepentingan pengoperasian kereta api dan menjamin keselamatan perjalanan kereta api, pada
setiap lintas pelayanan ditentukan frekuensi kereta api yang didasarkan pada:
a. kemampuan jalur kereta api yang dapat dilewati kereta api sesuai dengan kecepatan sarana
perkeretaapian;
b. jarak antara dua stasiun atau petak blok; dan
c. fasilitas operasi.
(2) Frekuensi perjalanan kereta api dapat digolongkan dalam:
a. frekuensi rendah;
b. frekuensi sedang; dan
c. frekuensi tinggi.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai kecepatan dan frekuensi kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Gapeka
Pasal 24
(1) Pelaksanaan perjalanan kereta api yang dimulai dari stasiun keberangkatan, bersilang, bersusulan, dan
berhenti di stasiun tujuan diatur berdasarkan Gapeka.
(2) Gapeka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemilik prasarana perkeretaapian didasarkan
pada pelayanan angkutan kereta api yang akan dilaksanakan.
(3) Pembuatan Gapeka oleh pemilik prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
memperhatikan:
a. masukan dari penyelenggara sarana perkeretaapian;
b. kebutuhan angkutan kereta api; dan
c. sarana perkeretaapian yang ada.
(4) Gapeka dapat berupa:
a. Gapeka pada jaringan jalur kereta api nasional;
b. Gapeka pada jaringan jalur kereta api provinsi; dan
c. Gapeka pada jaringan jalur kereta api kabupaten/ kota.
Pasal 25
Gapeka dapat diubah apabila terdapat perubahan pada:
a. kebutuhan angkutan;
b. jumlah sarana perkeretaapian;
c. kecepatan kereta api;
d. prasarana perkeretaapian; dan/atau
e. keadaan memaksa.
Pasal 26
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan jadwal perjalanan kereta api yang termuat
dalam Gapeka kepada masyarakat.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui media massa dan ditempel di
stasiun, sebelum pemberlakuan Gapeka.
Pasal 27
(1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian melaporkan pelaksanaan Gapeka secara berkala setiap 3 (tiga)
bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Gapeka.
(3) Dalam hal terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan Gapeka, penyelenggara prasarana perkeretaapian
dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin operasi, dan/atau pencabutan izin.
Pasal 28
(1) Perjalanan kereta api luar biasa dapat dilaksanakan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian atau
penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Dalam hal perjalanan kereta api luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian, harus mendapat persetujuan dari penyelenggara prasarana
perkeretaapian.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan standar pembuatan Gapeka diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pengaturan Perjalanan Kereta Api
Pasal 30
(1) Pengaturan perjalanan kereta api terdiri atas wilayah pengaturan:
a. setempat;
b. daerah; dan
c. terpusat.
(2) Pengaturan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pengatur
perjalanan kereta api sesuai Gapeka.
(3) Petugas pengatur perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab terhadap
keselamatan urusan perjalanan kereta api di wilayah pengaturannya.
Pasal 31
Pengaturan perjalanan kereta api setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilaksanakan
oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun yang bersangkutan.
Pasal 32
Pengaturan perjalanan kereta api daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dilaksanakan
oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun yang ditetapkan oleh penyelenggara prasarana
perkeretaapian untuk pengaturan perjalanan kereta api pada 2 (dua) stasiun atau lebih.
Pasal 33
Pengaturan perjalanan kereta api terpusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c dilaksanakan
oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di suatu tempat tertentu untuk pengaturan perjalanan kereta api
dalam 1 (satu) wilayah pengaturan.
Pasal 34
(1) Dalam hal perjalanan kereta api tidak sesuai Gapeka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2),
pengaturan perjalanan kereta api dilakukan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api dan
pelaksanaannya oleh petugas pengatur perjalanan kereta api.
(2) Pengaturan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui alat komunikasi yang direkam.
(3) Pengaturan perjalanan kereta api yang dilakukan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab petugas pengatur perjalanan
kereta api.
Pasal 35
Pengaturan perjalanan kereta api dilakukan dengan semboyan berupa:
a. isyarat dari petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal;
c. tanda; atau
d. marka.
Pasal 36
(1) Sinyal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b terdiri atas:
a. sinyal utama;
b. sinyal pembantu; dan
c. sinyal pelengkap.
(2) Sinyal utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. sinyal masuk;
b. sinyal keluar;
c. sinyal blok;
d. sinyal darurat; dan
e. sinyal langsir.
(3) Sinyal pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. sinyal muka;
b. sinyal pendahulu; dan
c. sinyal pengulang.
(4) Sinyal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. sinyal penunjuk arah;
b. sinyal pembatas kecepatan; dan
c. sinyal berjalan jalur tunggal sementara.
Pasal 37
Tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c berfungsi untuk memberi peringatan atau petunjuk yang
harus dipatuhi oleh masinis.
Pasal 38
Marka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d berfungsi sebagai peringatan, petunjuk, batas, atau
pembeda kepada masinis mengenai kondisi tertentu pada suatu tempat tertentu yang terkait dengan perjalanan
kereta api.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan perjalanan kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Persiapan Perjalanan Kereta Api
Paragraf 1
Umum
Pasal 40
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mempersiapkan perjalanan kereta api.
(2) Persiapan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. menyiapkan sarana dengan atau tanpa rangkaiannya;
b. menyiapkan awak sarana perkeretaapian;
c. memeriksa sarana perkeretaapian;
d. menyediakan waktu kereta api sesuai dengan jalur yang terjadwal di stasiun awal;
e. memasang tanda; dan
f. menyiapkan dokumen perjalanan kereta api.
Pasal 41
Penyiapan sarana dengan atau tanpa rangkaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a,
meliputi kegiatan:
a. menyiapkan lokomotif, kereta atau gerbong, kereta dengan penggerak sendiri, atau peralatan khusus,
untuk didinaskan dalam perjalanan kereta api; dan
b. menentukan susunan rangkaian sarana perkeretaapian untuk dirangkai oleh penyelenggara prasarana
perkeretaapian menjadi rangkaian kereta api yang akan berangkat sesuai dengan persyaratan teknis
operasi untuk keselamatan perjalanan kereta api.
Pasal 42
Penyiapan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b, paling sedikit
meliputi kegiatan:
a. memeriksa sertifikat kecakapan;
b. memeriksa kesehatan; dan
c. memberi surat tugas.
Pasal 43
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c, paling sedikit
meliputi pemeriksaan terhadap:
a. perangkat pengereman;
b. peralatan keselamatan;
c. peralatan perangkai; dan
d. kelistrikan.
(2) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik untuk kereta api antarkota
maupun perkotaan, dilakukan pada saat awal pengoperasian di stasiun awal.
Pasal 44
Penyediaan waktu kereta api sesuai dengan jalur yang terjadwal di stasiun awal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2) huruf d, dilaksanakan untuk pelayanan kepada pengguna jasa kereta api dengan kegiatan:
a. memeriksa dokumen perjalanan kereta api;
b. mencocokkan jam yang digunakan masinis dan kondektur dengan jam induk di stasiun;
c. mengawasi naiknya penumpang; dan
d. memuat barang bawaan dan barang kiriman di kereta bagasi.
Pasal 45
Pemasangan tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf e dilakukan pada:
a. ujung belakang kereta api; dan
b. tempat lain di kereta api sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 46
Penyiapan dokumen perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf f, meliputi:
a. keterangan kelaikan sarana perkeretaapian;
b. keterangan tentang rangkaian kereta api, jadwal perjalanan, termasuk tempat bersilang atau penyusulan
kereta api;
c. dokumen untuk mencatat kejadian selama perjalanan kereta api; dan
d. dokumen yang diperlukan untuk masinis.
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan perjalanan kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 2
Penempatan Lokomotif dalam Rangkaian
Pasal 48
(1) Untuk menjamin keselamatan dan dengan memperhatikan daya tarik rangkaian, lokomotif ditempatkan
pada bagian depan rangkaian kereta api.
(2) Pada tanjakan dengan gradien tertentu dan/atau kondisi yang mengharuskan, lokomotif dapat ditempatkan
di bagian belakang rangkaian sebagai lokomotif pendorong.
Pasal 49
(1) Rangkaian kereta api dapat menggunakan 2 (dua) lokomotif atau lebih.
(2) Rangkaian kereta api dengan 2 (dua) lokomotif atau lebih, lokomotif kedua atau selebihnya dengan
pertimbangan teknis dapat ditempatkan di tengah atau di belakang rangkaian kereta api.
(3) Dalam hal pada 1 (satu) rangkaian kereta api memerlukan 2 (dua) lokomotif atau lebih, masinis yang
berada pada lokomotif paling depan mengendalikan jalannya kereta api.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan lokomotif dalam rangkaian kereta api diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 3
Pemeriksaan Jalur
Pasal 51
(1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api, jalur kereta api harus diadakan pemeriksaan secara berkala,
paling sedikit 2 (dua) kali dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam.
(2) Pemeriksaan jalur dilakukan oleh petugas pemeriksa jalur dengan membawa peralatan yang diperlukan.
(3) Petugas pemeriksa jalur harus melaporkan kondisi jalur kereta api di wilayah tugasnya kepada petugas
pengatur perjalanan kereta api di stasiun akhir tugasnya.
(4) Pelaksanaan dan waktu pemeriksaan jalur diatur oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan jalur kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Hubungan Blok
Pasal 53
(1) Hubungan blok dalam petak blok antara 2 (dua) stasiun untuk perjalanan kereta api terdiri atas:
a. hubungan manual; dan
b. hubungan otomatis.
(2) Hubungan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. telegraf;
b. blok elektromekanis; dan
c. blok elektris.
(3) Hubungan otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. otomatis tertutup; dan
b. otomatis terbuka.
Pasal 54
(1) Hubungan telegraf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dilakukan dalam memberi
warta kereta api.
(2) Hubungan blok elektromekanis dan blok elektris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b
dan huruf c dilakukan dengan mengoperasikan peralatan sesuai dengan peraturan pengamanan setempat.
Pasal 55
(1) Pertukaran warta kereta api harus dilaksanakan antara petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun
terdekat yang bersebelahan yang memiliki faslitas untuk warta kereta api.
(2) Warta kereta api harus terekam/tercatat untuk keperluan pembuktian.
Pasal 56
Apabila terdapat gangguan hubungan blok, hubungan dilakukan dengan hubungan blok darurat setelah petugas
pengatur perjalanan kereta api menjamin:
a. wesel dalam kondisi aman;
b. petak blok dalam kondisi aman; dan
c. dari arah berlawanan tidak akan atau sedang menjalankan kereta api.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara hubungan blok diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pemberangkatan Kereta Api
Pasal 58
Penyiapan dan pelaksanaan pemberangkatan kereta api dilakukan melalui tahapan:
a. penyiapan pegawai stasiun;
b. penyiapan rute kereta api berangkat;
c. penyiapan kereta api berangkat;
d. pemberian perintah berangkat;
e. pengawasan pemberangkatan kereta api;
f. mengembalikan kedudukan persinyalan pada posisi awal; dan
g. pemberian warta berangkat kepada stasiun berikutnya.
Pasal 59
Penyiapan pegawai stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan untuk pengoperasian
kereta api.
Pasal 60
Penyiapan rute kereta api berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b merupakan kegiatan
mengatur kedudukan wesel dan sinyal yang menunjukkan indikasi aman untuk dilalui kereta api yang akan
berangkat.
Pasal 61
Penyiapan kereta api berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c meliputi:
a. masinis sudah berada di kabin masinis;
b. kondektur di samping kereta api;
c. penumpang dan/atau barang berada di kereta atau gerbong; dan
d. pengatur perjalanan kereta api berada di tempatnya.
Pasal 62
Pemberian perintah berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dilakukan oleh petugas pengatur
perjalanan kereta api melalui sinyal dan tanda indikasi aman.
Pasal 63
(1) Pengawasan pemberangkatan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf e dilakukan oleh
petugas pengatur perjalanan kereta api atau didelegasikan kepada petugas lain yang ditugaskan untuk itu.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai kereta api melewati wesel terjauh.
Pasal 64
Mengembalikan kedudukan persinyalan pada posisi awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf f,
dilakukan setelah kereta api melewati wesel terjauh di stasiun.
Pasal 65
(1) Pemberian warta berangkat kepada stasiun berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 huruf g,
dilakukan dalam waktu secepatnya setelah kereta api berangkat oleh petugas pengatur perjalanan kereta
api dengan memberi warta berangkat kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun terdekat
berikutnya yang memiliki fasilitas warta kereta api.
(2) Pemberian warta berangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk hubungan blok manual.
Pasal 66
(1) Pada saat kereta api akan melewati wesel terjauh di stasiun, masinis harus memperhatikan tanda akhir
belakang rangkaian kereta api untuk memastikan tidak terdapat bagian belakang rangkaian kereta api
tertinggal atau terlepas.
(2) Dalam hal terdapat rangkaian kereta api yang tertinggal atau terlepas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), masinis harus menghentikan kereta api.
(3) Apabila di stasiun dilengkapi dengan sinyal mekanis atau elektromekanis untuk jalur tunggal, masinis harus
memperhatikan sinyal masuk untuk kereta api yang berlawanan arah.
(4) Dalam hal sinyal masuk untuk kereta api yang berlawanan arah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menunjukkan indikasi jalur tidak aman, masinis harus memberhentikan kereta api dan menunggu perintah
petugas pengatur perjalanan kereta api.
Pasal 67
Dalam hal tidak memungkinkan masinis memastikan bagian belakang rangkaian kereta api tidak terlihat
sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (1), maka masinis dibebaskan atas tanggung jawab memperhatikan
tanda ujung belakang rangkaian kereta api.
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberangkatan kereta api diatur dengan peraturan Menteri
Bagian Kedelapan
Kereta Api dalam Perjalanan
Pasal 69
Perjalanan kereta api pada petak blok merupakan perjalanan kereta api dari:
a. sinyal keluar sampai sinyal blok;
b. sinyal blok sampai sinyal blok berikutnya;
c. sinyal blok sampai sinyal masuk; atau
d. sinyal keluar pada suatu stasiun sampai sinyal masuk di stasiun berikutnya.
Pasal 70
(1) Perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 pada jalur yang menggunakan sinyal blok,
dalam hal sinyal blok mengindikasikan tidak aman, masinis harus mengikuti peraturan yang berlaku.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memasuki sinyal blok tidak aman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 71
(1) Pada jalur kereta api menurun dengan gradien/derajat tertentu, kereta api yang akan menurun harus
berhenti di stasiun terdekat sebelum turunan untuk dilakukan pemeriksaan sistem pengereman dan
fasilitas lainnya.
(2) Gradien/derajat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan
memperhatikan keselamatan perjalanan kereta api.
(3) Stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditetapkan dalam Gapeka.
Pasal 72
(1) Masinis yang bertugas dalam perjalanan kereta api harus melaporkan kepada petugas pengendali
perjalanan kereta api pada stasiun keberangkatan dan pada saat perpindahan wilayah pengendalian
melalui peralatan telekomunikasi yang direkam.
(2) Dalam hal masinis menemukan kejanggalan pada jalur yang telah dilewati, masinis harus segera
melaporkan kepada petugas pengendali perjalanan kereta api mengenai kejanggalan jalur tersebut disertai
laporan mengenai kondisi jalur kereta api, sinyal, perlintasan, dan kondisi catu daya yang telah dilewati,
melalui peralatan telekomunikasi.
Pasal 73
(1) Pada jalur kereta api bergigi, lebih dari 1 (satu) rangkaian kereta api dapat berjalan beriringan dalam 1
(satu) kelompok dalam satu petak blok.
(2) Perjalanan kereta api dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan jarak
dan tenggat waktu yang aman antarkereta api.
(3) Apabila salah satu kereta api dalam kelompok terlambat, petugas pengatur perjalanan kereta api harus
memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api yang berada di stasiun sebelumnya dan
di stasiun berikutnya.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api dalam perjalanan dan perjalanan kereta api di jalur bergigi
diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Kedatangan Kereta Api di Stasiun
Paragraf 1
Kereta Api Memasuki Stasiun
Pasal 75
(1) Pada waktu kereta api akan masuk stasiun operasi, masinis wajib mematuhi indikasi sinyal masuk, indikasi
sinyal muka, atau indikasi sinyal pendahulu.
(2) Masinis menjalankan kereta api memasuki stasiun sesuai dengan kecepatan yang diizinkan apabila sinyal
masuk, sinyal muka, atau sinyal pendahulu menunjukkan indikasi aman.
(3) Masinis wajib mengurangi kecepatan untuk mempersiapkan kereta api berhenti di muka sinyal masuk
apabila sinyal muka menunjukkan indikasi hati-hati.
(4) Masinis wajib memberhentikan kereta api di muka sinyal masuk apabila sinyal masuk menunjukkan
indikasi tidak aman.
(5) Dalam hal sinyal masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan indikasi hati-hati, kereta api
dapat berjalan terus memasuki stasiun untuk berhenti.
Pasal 76
Kereta api yang berhenti di muka sinyal masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) dapat berjalan
kembali setelah sinyal masuk mengindikasikan aman.
Pasal 77
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api memasuki stasiun diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 2
Menerima Kedatangan Kereta Api Berhenti
Pasal 78
(1) Petugas pengatur perjalanan kereta api setempat yang akan menerima kedatangan kereta api sebelum
memberi warta aman, wajib melakukan persiapan menerima kedatangan kereta api berhenti.
(2) Persiapan menerima kedatangan kereta api berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a. menyiapkan pegawai stasiun; dan
b. menyiapkan rute kereta api datang.
(3) Setelah melakukan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) petugas pengatur perjalanan kereta
api memberi warta aman kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun pemberangkatan dan
menerima warta berangkat dari petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun pemberangkatan.
(4) Menjelang kereta api masuk stasiun sampai kereta api keluar stasiun, petugas pengatur perjalanan kereta
api harus mengawasi kedatangan kereta api dan kedudukan wesel.
Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menerima kedatangan kereta api berhenti diatur dengan peraturan
Menteri.
Paragraf 3
Kereta Api Berhenti dan Berjalan Langsung di Stasiun
Pasal 80
(1) Kereta api berhenti dan berjalan langsung di stasiun sesuai dengan Gapeka.
(2) Kereta api berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berjalan kembali setelah mendapat
perintah berangkat dari petugas pengatur perjalanan kereta api.
(3) Kereta api berjalan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila sinyal masuk dan sinyal keluar
menunjukkan indikasi aman.
Pasal 81
Petugas pengatur perjalanan kereta api setempat harus melaporkan setiap kedatangan dan keberangkatan
kereta api kepada petugas pengendali perjalanan kereta api.
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti dan berjalan langsung di stasiun diatur dengan
peraturan Menteri
Paragraf 4
Kereta Api Berhenti di Stasiun Akhir
Pasal 83
(1) Setelah kereta api berhenti di stasiun tujuan akhir harus dilakukan kegiatan penghapusan pendinasan
kereta api.
(2) Kegiatan penghapusan pendinasan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melapor dan menyerahkan dokumen perjalanan kereta api kepada petugas pengatur perjalanan
kereta api atau pembantu petugas pengatur perjalanan kereta api oleh awak sarana perkeretaapian;
b. melepas tanda akhiran kereta api di ujung belakang rangkaian kereta api oleh teknisi;
c. melepas alat perangkai dan saluran rem di antara lokomotif dan rangkaian gerbong dan/atau kereta
oleh teknisi;
d. melangsir rangkaian kereta api menjadi beberapa bagian untuk proses pembongkaran, pemuatan,
pemeliharaan, dan kegiatan lainnya oleh teknisi apabila diperlukan;
e. menempatkan kereta atau gerbong di jalan rel yang ditentukan oleh petugas pengatur perjalanan
kereta api; dan
f. menempatkan rangkaian di jalur yang aman untuk persiapan perjalanan kereta api selanjutnya oleh
petugas pengatur perjalanan kereta api.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti di stasiun akhir diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Keterlambatan Kereta Api
Pasal 85
(1) Perjalanan kereta api harus sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dalam Gapeka.
(2) Dalam hal terjadi keterlambatan jadwal perjalanan kereta api yang melebihi batas toleransi waktu operasi
yang diizinkan, penyelenggara prasarana perkeretaapian mengambil langkah-langkah untuk mengurangi
keterlambatan perjalanan kereta api.
(3) Pedoman pelaksanaan untuk mengurangi keterlambatan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi karakterisitik dan jenis fasilitas operasi pada jaringan ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kesebelas
Persilangan dan Penyusulan serta Penutupan dan Pembukaan Stasiun
Pasal 86
(1) Persilangan atau penyusulan antarkereta api dilakukan di stasiun operasi atau tempat yang terdapat
fasilitas untuk itu yang telah ditentukan sesuai dengan Gapeka.
(2) Dalam hal terjadi keterlambatan kereta api, persilangan atau penyusulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dipindahkan ke stasiun operasi lain atau tempat yang terdapat fasilitas untuk itu oleh
petugas pengendali perjalanan kereta api dan dilaksanakan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api.
Pasal 87
(1) Stasiun operasi dapat dibuka atau ditutup sesuai kebutuhan pelayanan perjalanan kereta api berdasarkan
Gapeka.
(2) Pembukaan atau penutupan stasiun operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. kebutuhan operasional pada saat itu tidak dibutuhkan; dan/atau
b. untuk efisiensi.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persilangan dan penyusulan serta penutupan dan pembukaan stasiun
operasi diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keduabelas
Kereta Api Berhenti Luar Biasa
Pasal 89
(1) Kereta api berhenti luar biasa apabila kereta api yang menurut Gapeka berjalan langsung di stasiun
operasi karena sesuatu hal harus berhenti.
(2) Hal yang menyebabkan kereta api berhenti luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya
adalah:
a. perpindahan persilangan dan penyusulan;
b. kerusakan pada prasarana atau sarana perkeretaapian;
c. perawatan prasarana perkeretaapian atau perbaikan sarana perkeretaapian;
d. keadaan yang akan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api;
e. indikasi sabotase;
f. bencana alam;
g. huru-hara; dan
h. adanya sarana perkeretaapian yang tertinggal pada petak blok.
Pasal 90
Dalam hal masinis meyakini adanya keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf b, huruf d,
huruf f, huruf g, huruf h, atau terdapat benda yang menghalangi perjalanan kereta api, masinis harus
menghentikan kereta api di luar stasiun tanpa harus menunggu perintah dari petugas pengatur perjalanan kereta
api.
Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti luar biasa diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketigabelas
Penundaan Keberangkatan Kereta Api
Pasal 92
(1) Keberangkatan kereta api dari stasiun dapat ditunda apabila:
a. terjadi kerusakan sarana kereta api; atau
b. alasan teknis operasi.
(2) Dalam hal penundaan perjalanan kereta api penumpang antarkota yang memiliki waktu tempuh lebih dari 6
(enam) jam, terjadi penundaan berangkat yang diperkirakan akan berlangsung 3 (tiga) jam atau lebih,
penyelenggara sarana perkeretaapian harus menyediakan kompensasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penundaan keberangkatan kereta api diatur dengan peraturan
Menteri.
Pasal 93
Penyelenggara prasarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan
penundaan kereta api kepada pengguna jasa sebelum jadwal pemberangkatan kereta api.
Bagian Keempatbelas
Pembatalan Keberangkatan Kereta Api
Pasal 94
(1) Pembatalan keberangkatan kereta api dapat dilakukan apabila:
a. tidak ada angkutan;
b. alasan teknis operasi; atau
c. terjadi penundaan keberangkatan paling banyak 2 (dua) kali.
(2) Dalam hal pembatalan keberangkatan kereta api penumpang antarkota yang memiliki waktu tempuh lebih
dari 6 (enam) jam, penyelenggara sarana perkeretaapian harus menyediakan kereta api atau moda
angkutan darat lainnya sebagai pengganti dengan kelas pelayanan yang sama.
Pasal 95
Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan pembatalan kereta api kepada masyarakat atau
pengguna jasa sebelum jadwal pemberangkatan kereta api.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan perjalanan kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelimabelas
Pengalihan Perjalanan Kereta Api
Pasal 97
Perjalanan kereta api dapat dialihkan apabila terjadi rintang jalan pada jalur kereta api yang akan dilalui dan
diperkirakan waktu yang diperlukan untuk mengatasi rintang jalan melebihi atau sama dengan waktu tempuh
perjalanan kereta api pada jalur kereta api yang akan dialihkan.
Pasal 98
Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan pengalihan perjalanan kereta api kepada pengguna
jasa.
Bagian Keenambelas
Bagian Kereta Api yang Terputus
Pasal 99
(1) Masinis kereta api yang mengetahui rangkaian bagian belakang terputus dalam perjalanan harus
merangkaikan kembali kereta api dengan memperhatikan keselamatan dan keamanan perjalanan kereta
api.
(2) Masinis wajib melaporkan kejadian terputusnya rangkaian dalam perjalanan kepada petugas pengatur
perjalanan kereta api di stasiun operasi berikutnya untuk dilakukan pemeriksaan atau tindakan lain yang
diperlukan.
Pasal 100
(1) Dalam keadaan tertentu masinis dapat meninggalkan bagian rangkaian kereta api pada satu petak blok.
(2) Pada bagian rangkaian kereta api yang ditinggalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang
tanda tidak aman dan tanda bahaya di ujung belakang dan depan bagian rangkaian kereta api yang
diletakkan pada jarak aman sehingga mudah terlihat oleh masinis lokomotif penolong.
(3) Masinis melanjutkan perjalanan kereta api tanpa tanda akhiran rangkaian dan membunyikan tanda bahaya
berulang-ulang sampai kereta api berhenti di stasiun operasi berikutnya.
Pasal 101
(1) Petugas pengatur perjalanan kereta api yang menerima laporan masinis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99 ayat (2) harus:
a. menyatakan dan memberitahukan petak blok tidak aman kepada petugas pengatur perjalanan
kereta api stasiun operasi pemberangkatan sebelumnya; dan
b. meminta bantuan kepada petugas pengendali perjalanan kereta api untuk menarik bagian rangkaian
kereta api yang ditinggal di petak blok.
(2) Setelah petak blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan aman, petugas pengatur
perjalanan kereta api memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi
pemberangkatan sebelumnya.
Pasal 102
Kereta api dengan rangkaian terputus bagian belakang selama dalam perjalanan dan tidak diketahui oleh
masinis, pengamanannya dibedakan dalam:
a. sistem persinyalan mekanis; dan
b. sistem persinyalan elektris.
Pasal 103
(1) Petugas pengatur perjalanan kereta api yang mengetahui kereta api yang melintas tanpa tanda akhiran
dalam sistem persinyalan mekanis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf a yang tidak diketahui
oleh masinis, harus:
a. memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun operasi berikutnya
yang akan dilewati agar kereta api diberhentikan luar biasa;
b. memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun operasi sebelumnya
agar mengambil tindakan pengamanan terhadap kemungkinan bagian rangkaian kereta api yang
terputus;
c. berusaha menghentikan bagian rangkaian kereta api yang terputus apabila terdapat bagian
rangkaian kereta api yang terputus berjalan terus memasuki wilayah stasiun operasi; dan
d. membunyikan genta tanda bahaya yang berada pada perlintasan atau menginformasikan kepada
petugas penjaga perlintasan untuk menutup pintu perlintasan sampai bagian rangkaian kereta api
yang terputus melewati perlintasan.
(2) Apabila tindakan pengamanan yang dilakukan petugas pengatur perjalanan kereta api sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berhasil, petugas pengatur perjalanan kereta api pada
stasiun tersebut memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi
sebelumnya untuk mengambil tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.
(3) Apabila usaha menghentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berhasil, pengatur
perjalanan kereta api harus memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun
operasi berikutnya agar berusaha menghentikannya.
Pasal 104
(1) Bagian rangkaian kereta api yang terputus dan tidak diketahui masinis dalam sistem persinyalan elektris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf b, setelah kereta api melewati petak blok dan dalam
indikator petak blok masih menunjukkan indikasi terisi, petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun
operasi berikutnya harus menghentikan kereta api dan memberitahukan kepada masinis mengenai
ketidakutuhan rangkaian.
(2) Dalam hal petugas pengatur perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
menghentikan kereta api, petugas pengatur perjalanan kereta api yang bersangkutan harus
memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun kereta api sebelumnya
untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf c dan huruf d.
Pasal 105
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan bagian kereta api yang terputus diatur dengan peraturan
Menteri.
Bagian Ketujuhbelas
Rintang Jalan
Pasal 106
(1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus menjaga petak blok dari rintang jalan.
(2) Rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh:
a. peristiwa alam;
b. kecelakaan;
c. gangguan prasarana perkeretaapian; dan/atau
d. sebab lain yang mengancam keselamatan perjalanan kereta api.
(3) Dalam hal terjadi rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus segera dilakukan tindakan:
a. penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib mengumumkan kepada masyarakat dan pengguna
jasa;
b. penyelenggara sarana perkeretaapian memindahkan penumpang, bagasi, dan barang hantaran ke
kereta api lain atau moda angkutan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar perjalanan
penumpang dan/atau barang tetap lancar; dan
c. petugas pengatur perjalanan kereta api menghentikan semua kereta api di stasiun terdekat.
(4) Dalam hal rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada salah satu jalur pada jalur ganda
penyelenggara prasarana perkeretaapian dan penyelenggara sarana perkeretaapian dapat menggunakan
jalur sebelahnya yang tidak terkena rintang jalan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan rintang jalan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedelapanbelas
Langsiran
Pasal 108
(1) Kegiatan langsiran dilakukan untuk:
a. menyusun rangkaian kereta api;
b. menambah atau mengurangi rangkaian;
c. menghapuskan pendinasan kereta api; atau
d. keperluan bongkar muat.
(2) Langsiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di stasiun atau di tempat lain dengan
ketentuan tidak mengganggu perjalanan kereta api.
(3) Langsiran dilakukan oleh petugas langsir setelah mendapat perintah petugas pengatur perjalanan kereta
api.
(4) Pelaksanaan langsiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dipandu dan dibantu oleh petugas
langsir serta dikendalikan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api.
Pasal 109
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara langsiran diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kesembilanbelas
Kewajiban Mendahulukan Perjalanan Kereta Api
Pasal 110
(1) Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan
perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib
mendahulukan perjalanan kereta api.
(2) Pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang.
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menyebabkan
kecelakaan, maka hal ini bukan merupakan kecelakaan perkeretaapian.
(4) Pintu perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api.
BAB IV
ANGKUTAN KERETA API
Bagian Kesatu
Awak Sarana Perkeretaapian
Pasal 111
(1) Pengoperasian kereta api antarkota dan kereta api perkotaan dilakukan oleh awak sarana perkeretaapian.
(2) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengoperasikan sarana
perkeretaapian berdasarkan surat perintah tugas dari penyelenggara sarana perkeretaapian.
(3) Awak sarana perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak memiliki surat perintah tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan
sertifikat kecakapan, atau pencabutan sertifikat kecakapan.
(4) Pembekuan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah dilakukan teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali atau mengakibatkan kecelakaan yang tidak menimbulkan korban jiwa.
(5) Pencabutan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila awak sarana
perkeretaapian pernah dibekukan sertifikatnya sebanyak 3 (tiga) kali atau mengakibatkan kecelakaan yang
menimbulkan korban jiwa.
Pasal 112
(1) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 terdiri atas:
a. masinis; dan
b. asisten masinis.
(2) Pengoperasian kereta api antarkota, masinis dibantu oleh asisten masinis.
(3) Pengoperasian kereta api perkotaan, masinis dapat dibantu oleh asisten masinis.
Pasal 113
Masinis bertindak sebagai pemimpin selama dalam perjalanan kereta api.
Pasal 114
(1) Masinis dalam mengoperasikan kereta api antarkota atau kereta api perkotaan, harus berdasarkan
Gapeka.
(2) Masinis dalam mengoperasikan kereta api antarkota dan kereta api perkotaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib mematuhi perintah atau larangan petugas pengatur perjalanan kereta api, sinyal,
tanda, dan marka.
(3) Apabila terdapat lebih dari satu perintah atau larangan dalam waktu yang bersamaan, masinis dan asisten
masinis wajib mematuhi perintah atau larangan yang diberikan berdasarkan prioritas sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; dan
c. tanda dan marka.
(4) Masinis bertanggung jawab terhadap perjalanan kereta api.
Pasal 115
(1) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1), dapat dibantu oleh
kondektur, teknisi, dan/atau petugas lainnya.
(2) Kondektur, teknisi, dan/atau petugas lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan penugasan dari penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 116
Kondektur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) bertugas:
a. menyiapkan dan membuat dokumen perjalanan kereta api;
b. memeriksa dan menertibkan penumpang dan barang;
c. membantu awak sarana perkeretaapian dalam pemberangkatan kereta api;
d. memandu jalannya kereta api dengan kecepatan terbatas apabila terjadi gangguan pada prasarana
dan/atau sarana kereta api; dan
e. mengoordinasikan pelaksanaan tugas petugas lain yang bekerja di kereta api.
Pasal 117
Teknisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) bertugas:
a. melakukan perbaikan ringan peralatan atau fasilitas sarana perkeretaapian dan/atau sarana
perkeretaapian; dan
b. mengoperasikan fasilitas sarana perkeretaapian.
Pasal 118
Kondektur dan teknisi selain bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Pasal 117 juga harus
membantu masinis dalam perjalanan kereta api.
Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaturan awak sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Angkutan
Paragraf 1
Umum
Pasal 120
Jenis angkutan dengan kereta api terdiri atas:
a. angkutan orang; dan
b. angkutan barang
Paragraf 2
Angkutan Orang
Pasal 121
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang
dipilih.
(3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.
Pasal 122
Karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) paling sedikit memuat informasi:
a. kelas pelayanan;
b. nama stasiun pemberangkatan dan stasiun tujuan;
c. tanggal dan waktu pemberangkatan serta kedatangan; dan
d. harga karcis.
Pasal 123
Penumpang anak yang berumur kurang dari 3 (tiga) tahun tidak dikenai biaya apabila tidak mengambil tempat
duduk.
Pasal 124
Setiap orang dilarang masuk ke dalam peron stasiun, kecuali petugas, penumpang yang memiliki karcis, dan
pengantar/penjemput yang memiliki karcis peron.
Pasal 125
(1) Penumpang yang membawa barang harus meletakkan barang bawaannya di tempat yang ditentukan untuk
meletakkan barang.
(2) Dalam hal barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diletakkan dalam kereta bagasi, barang
bawaan dikenai biaya angkutan.
(3) Biaya angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 126
(1) Atas persetujuan penyelenggara sarana perkeretaapian, penumpang diperbolehkan membawa binatang
peliharaan dengan syarat:
a. bebas penyakit;
b. tidak memakan tempat;
c. tidak mengganggu kenyamanan penumpang lain; dan
d. dimasukkan dalam tempat khusus.
(2) Tanggung jawab terhadap binatang peliharaan yang dibawa penumpang sepenuhnya menjadi tanggung
jawab penumpang yang bersangkutan.
Pasal 127
(4) Setiap orang naik atau berada di dalam kereta api dilarang:
a. dalam keadaan mabuk;
b. membawa barang berbahaya;
c. membawa barang terlarang;
d. berperilaku yang dapat membahayakan keselamatan dan atau mengganggu penumpang lain;
e. berjudi atau melakukan perbuatan asusila; dan/atau
f. membahayakan perjalanan kereta api.
(5) Orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diturunkan di stasiun terdekat
berikutnya.
Pasal 128
(1) Orang yang tidak memiliki karcis dilarang naik kereta api kecuali orang yang ditugaskan oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggara sarana perkeretaapian dapat menurunkan orang yang tidak memiliki karcis di stasiun
terdekat dan/atau mengenakan denda paling banyak sebesar:
a. 500% (lima ratus per seratus) dari harga karcis untuk angkutan kereta api perkotaan; atau
b. 200% (dua ratus per seratus) dari harga karcis untuk angkutan kereta api antarkota.
Pasal 129
(1) Penumpang yang memiliki karcis dengan kelas pelayanan yang lebih rendah dari kereta api yang dinaiki,
penyelenggara sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi berupa denda dengan membayar harga
karcis dari stasiun pemberangkatan awal ke stasiun tujuan akhir atau menurunkan di stasiun terdekat.
(2) Penumpang yang memiliki karcis tidak sesuai dengan jurusan kereta api yang dinaiki, penyelenggara
sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2).
(3) Penumpang yang memiliki karcis dengan kelas pelayanan yang lebih rendah dalam 1 (satu) rangkaian
kereta api, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi berupa denda dengan
membayar kekurangan harga karcis atau menurunkan di stasiun terdekat.
Pasal 130
(1) Pengangkutan orang dengan kereta api harus dilakukan dengan menggunakan kereta.
(2) Dalam keadaan tertentu penyelenggara sarana perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang
dengan menggunakan gerbong dan/atau kereta bagasi yang bersifat sementara dengan ketentuan:
a. kereta pada jalur yang bersangkutan tidak tersedia atau tidak mencukupi;
b. adanya permintaan angkutan yang mendesak; atau
c. keadaan darurat.
(3) Gerbong dan/atau kereta bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus tertutup dan memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan penumpang serta paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas
berupa:
a. pintu masuk/keluar;
b. ventilasi udara;
c. alas untuk duduk yang bersih; dan
d. penerangan.
Pasal 131
(1) Penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) huruf a
dan huruf b dapat dilakukan atas persetujuan dari Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi untuk keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
130 ayat (2) huruf c dilaporkan segera setelah penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi untuk
mengangkut orang.
Pasal 132
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara angkutan orang diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 3
Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang
Pasal 133
(1) Pengoperasian kereta api harus memenuhi standar pelayanan minimum.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. standar pelayanan minimum di stasiun kereta api; dan
b. standar pelayanan minimum dalam perjalanan.
Pasal 134
(1) Standar pelayanan minimum di stasiun kereta api kelas besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133
ayat (2) huruf a paling sedikit terdapat:
a. informasi yang jelas dan mudah dibaca mengenai:
1. nama dan nomor kereta api;
2. jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api;
3. tarif kereta api;
4. stasiun kereta api pemberangkatan, stasiun kereta api pemberhentian, dan stasiun kereta api
tujuan;
5. kelas pelayanan; dan
6. peta jaringan jalur kereta api.
b. loket;
c. ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, dan tempat parkir;
d. kemudahan naik/turun penumpang;
e. fasilitas penyandang cacat dan kesehatan; dan
f. fasilitas keselamatan dan keamanan.
(2) Standar pelayanan minimum dalam perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat
(2) huruf b terdiri atas:
a. untuk kereta api antarkota, paling sedikit meliputi:
1. pintu dan jendela;
2. tempat duduk dengan konstruksi tetap yang mempunyai sandaran dan nomor tempat duduk;
3. toilet dilengkapi dengan air sesuai dengan kebutuhan;
4. lampu penerangan;
5. kipas angin;
6. rak bagasi;
7. restorasi;
8. informasi stasiun yang dilewati/disinggahi secara berurutan;
9. fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah 5 (lima)
tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia;
10. fasilitas kesehatan, keselamatan, dan keamanan;
11. nama dan nomor urut kereta;
12. informasi gangguan perjalanan kereta api; dan
13. ketepatan jadwal perjalanan kereta api.
b. untuk kereta api perkotaan, paling sedikit meliputi:
1. pintu dan jendela;
2. tempat duduk dengan konstruksi tetap yang mempunyai sandaran;
3. lampu penerangan;
4. penyejuk udara;
5. rak bagasi;
6. fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah 5 (lima)
tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia;
7. fasilitas pegangan untuk penumpang berdiri;
8. fasilitas kesehatan, keselamatan dan keamanan;
9. informasi gangguan perjalanan kereta api; dan
10. ketepatan jadwal perjalanan kereta api.
Pasal 135
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimum angkutan orang diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 4
Angkutan Barang
Pasal 136
(1) Angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong atau kereta bagasi.
(2) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. angkutan barang umum;
b. angkutan barang khusus;
c. angkutan bahan berbahaya dan beracun; dan
d. angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun.
(3) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
a. pemuatan, pembongkaran, dan penyusunan barang pada tempat-tempat yang ditetapkan sesuai
dengan klasifikasinya; dan
b. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut.
Pasal 137
(1) Angkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf a diklasifikasikan atas:
a. barang aneka;
b. kiriman pos; dan
c. jenazah.
(2) Pengangkutan barang aneka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan gerbong
tertutup.
(3) Pengangkutan kiriman pos dan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat
menggunakan kereta bagasi.
Pasal 138
(1) Angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b diklasifikasikan atas:
a. barang curah;
b. barang cair;
c. muatan yang diletakkan di atas palet;
d. kaca lembaran;
e. barang yang memerlukan fasilitas pendingin;
f. tumbuhan dan hewan hidup;
g. kendaraan;
h. alat berat;
i. barang dengan berat tertentu; dan
j. peti kemas.
(2) Pengangkutan barang curah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan gerbong terbuka
atau gerbong tertutup.
(3) Pengangkutan barang cair sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan gerbong tangki
sesuai dengan jenis barangnya, kecuali barang cair dalam kemasan dapat menggunakan gerbong tertutup
atau kereta bagasi.
(4) Pengangkutan muatan yang diletakkan di atas palet dan kaca lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dan huruf d menggunakan gerbong tertutup.
(5) Pengangkutan barang yang memerlukan fasilitas pendingin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
menggunakan gerbong atau kereta bagasi khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin.
(6) Pengangkutan tumbuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f menggunakan kereta bagasi atau
gerbong terbuka dan harus disediakan air.
(7) Pengangkutan hewan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f menggunakan gerbong hewan
harus disediakan air dan makanan hewan, harus diikat dan/atau disekat serta dijaga seorang atau lebih
pemelihara hewan.
(8) Pengangkutan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g menggunakan gerbong datar atau
kereta bagasi.
(9) Pengangkutan alat berat, barang dengan berat tertentu, dan peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf h, huruf i, dan huruf j dapat menggunakan gerbong datar, gerbong lekuk, atau gerbong terbuka.
Pasal 139
(1) Angkutan bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf c,
diklasifikasikan atas:
a. mudah meledak;
b. gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau pendinginan tertentu;
c. cairan mudah terbakar;
d. padatan mudah terbakar;
e. oksidator, peroksida organik;
f. racun dan bahan yang mudah menular;
g. radio aktif;
h. korosif; dan
i. berbahaya dan beracun lainnya.
(2) Angkutan bahan berbahaya dan beracun dapat menggunakan gerbong terbuka, gerbong tertutup, atau
gerbong khusus setelah dikemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 140
Angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf d, dapat
menggunakan gerbong terbuka, gerbong tertutup, atau gerbong khusus setelah dikemas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 141
(1) Pengangkutan bahan berbahaya dan beracun, dan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) dan Pasal 140 harus memenuhi syarat:
a. pengirim merupakan instansi yang berwenang atau pengguna jasa yang telah mendapat izin tertulis
dari Menteri setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang terkait;
b. bongkar muat dilakukan pada tempat dan/atau stasiun tertentu yang mempunyai fasilitas bongkar
muat sesuai dengan kekhususan bahan yang diangkut;
c. diangkut dengan gerbong sesuai dengan jenis bahan yang diangkut dan diberikan tanda khusus;
d. dilakukan pengawalan dan/atau menyertakan petugas yang memiliki keterampilan dan kualifikasi
tertentu sesuai sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut;
e. petugas pengawal harus mengambil tindakan apabila terjadi hal-hal yang membahayakan
keamanan dan keselamatan barang yang dibawa;
f. antara 2 (dua) gerbong yang berisi harus ditempatkan gerbong kosong sebagai penyekat; dan
g. perjalanan kereta api menggunakan kecepatan sesuai dengan kecepatan yang ditetapkan.
(2) Awak sarana perkeretaapian yang ditugaskan mengangkut bahan berbahaya dan beracun, serta limbah
bahan berbahaya dan beracun harus mengetahui sifat dan karakteristik barang yang diangkut.
Pasal 142
Pemuatan dan penyusunan barang harus memenuhi persyaratan:
a. berat barang yang dimuat tidak melebihi beban gandar untuk masing-masing gandar gerbong; dan
b. beban gandar gerbong yang dimuat barang tidak melebihi beban gandar jalur kereta api.
Pasal 143
Pemuatan dan pembongkaran barang dapat dilakukan di:
a. stasiun kereta api; atau
b. tempat lain diluar stasiun kereta api yang diperuntukkan untuk bongkar dan muat barang yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 144
(1) Pengangkutan barang dengan kereta api dilaksanakan berdasarkan perjanjian angkutan antara
penyelenggara sarana perkeretaapian dan pengguna jasa angkutan kereta api.
(2) Isi perjanjian angkutan barang paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pengguna jasa angkutan kereta api;
b. nama stasiun pemberangkatan dan stasiun tujuan;
c. tanggal dan waktu keberangkatan dan kedatangan;
d. jenis barang yang diangkut; dan
e. tarif yang disepakati.
Pasal 145
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemuatan, penyusunan, pengangkutan, dan pembongkaran barang
diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Tarif
Paragraf 1
Umum
Pasal 146
(1) Tarif angkutan kereta api terdiri atas tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang.
(2) Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
(3) Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan
keuntungan.
Paragraf 2
Tarif Angkutan Orang
Pasal 147
(1) Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) merupakan besaran biaya yang
dinyatakan dalam biaya per penumpang per kilometer.
(2) Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian.
(3) Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum diberlakukan.
(4) Pengumuman tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan di stasiun dan/atau media
cetak/elektronik.
Pasal 148
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian melaporkan tarif yang ditetapkan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota yang mengeluarkan izin operasi.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi penetapan
dan pelaksanaan tarif.
(3) Dalam hal penetapan dan pelaksanaan tarif oleh penyelenggara sarana perkeretaapian tidak sesuai
dengan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146
ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan izin operasi; dan
c. pencabutan izin operasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 149
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menetapkan tarif angkutan apabila:
a. masyarakat belum mampu membayar tarif yang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian untuk angkutan pelayanan kelas ekonomi; atau
b. dalam rangka pertumbuhan daerah baru atau dalam rangka pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas pembangunan nasional yang secara ekonomis belum menguntungkan untuk angkutan
perintis.
(2) Dalam hal tarif yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a lebih rendah dari tarif yang ditetapkan penyelenggara sarana perkeretaapian, selisih tarif
menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
(3) Dalam hal Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menugaskan kepada penyelenggara sarana
perkeretaapian untuk menyelenggarakan angkutan perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dan biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian lebih tinggi dari pendapatan yang
diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, maka selisihnya
menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, dalam bentuk subsidi angkutan perintis.
Pasal 150
Angkutan pelayanan kelas ekonomi dan angkutan perintis paling sedikit harus memenuhi standar pelayanan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2).
Pasal 151
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya:
a. menetapkan lintas pelayanan untuk angkutan pelayanan kelas ekonomi dan angkutan perintis; dan
b. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan tarif yang dilaksanakan oleh penyelenggara
sarana perkeretaapian.
Pasal 152
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan dan penetapan tarif angkutan orang diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 3
Tarif Angkutan Barang
Pasal 153
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) merupakan besaran biaya yang
dinyatakan dalam biaya per ton per kilometer.
Pasal 154
(1) Dalam hal barang yang diangkut memiliki sifat dan karakteristik tertentu, besaran biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 153 ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyelenggara
sarana perkeretaapian sesuai pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. kesepakatan yang didahului dengan negosiasi; atau
b. kesepakatan atas tarif yang telah ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 155
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan dan penetapan tarif angkutan barang diatur dengan
peraturan Menteri
Paragraf 4
Pembatalan Perjalanan
Pasal 156
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengembalikan jumlah biaya yang telah dibayar oleh
penumpang atau pengirim barang apabila terjadi pembatalan pemberangkatan perjalanan kereta api oleh
penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Apabila pembatalan dilakukan di awal perjalanan, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib
mengembalikan seluruh biaya angkutan.
Pasal 157
(1) Penumpang dapat membatalkan keberangkatan atas keinginan sendiri.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaporkan kepada penyelenggara sarana
perkeretaapian paling lama 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan.
(3) Dalam hal pembatalan dilakukan 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penumpang mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus)
dari harga karcis.
(4) Dalam hal pembatalan dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan,
penumpang tidak mendapat pengembalian harga karcis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan keberangkatan diatur oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian
Pasal 158
(1) Pengguna jasa angkutan barang dapat membatalkan pengiriman atas keinginan sendiri.
(2) Ketentuan mengenai pembatalan pengiriman barang diatur oleh penyelenggara sarana perkeretaapan.
Paragraf 5
Biaya Penggunaan Prasarana
Pasal 159
(1) Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian menggunakan prasarana perkeretaapian yang dimiliki atau
dioperasikan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian, penyelenggara sarana perkeretaapian harus
membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian.
(2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung berdasarkan beban penggunaan prasarana yang berdampak pada biaya perawatan, biaya
pengoperasian, dan penyusutan prasarana dengan memperhitungkan prioritas penggunaan prasarana
perkeretaapian.
Pasal 160
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan prasarana diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Angkutan Kereta Api Khusus
Pasal 161
(1) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan
usaha tertentu.
(2) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan
dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian umum dan jaringan pelayanan angkutan
perkeretaapian khusus lainnya.
(3) Dalam hal terjadi integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka berlaku ketentuan pelayanan
perkeretaapian umum.
(4) Dalam hal pelayanan angkutan perkeretaapian khusus diintegrasikan dengan jaringan pelayanan angkutan
perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan dari:
a. Menteri, pada jaringan jalur perkeretaapian nasional;
b. gubernur, pada jaringan jalur perkeretaapian provinsi; atau
c. bupati/walikota, pada jaringan jalur perkeretaapian kabupaten/kota.
(5) Dalam hal pelayanan angkutan perkeretaapian khusus diintegrasikan dengan jaringan pelayanan
perkeretaapian khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan dari:
a. Menteri, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus lainnya
yang menghubungkan antarprovinsi;
b. gubernur, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus
lainnya yang menghubungkan antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; atau
c. bupati/walikota, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus
lainnya yang menghubungkan pelayanan dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
Pasal 162
Pengintegrasian pelayanan angkutan kereta api khusus dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian
umum dan/atau jaringan perkeretaapian khusus lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dilaksanakan
melalui kerja sama antara badan usaha perkeretaapian khusus dan penyelenggara prasarana perkeretaapian
umum dan/atau badan usaha perkeretaapian khusus lainnya.
Pasal 163
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengintegrasian pelayanan angkutan
perkeretaapian khusus diatur dengan peraturan Menteri.
BAB V
PELAPORAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN KERETA API
Pasal 164
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian dan penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib melaporkan
pelaksanaan penyelenggaraan angkutan perkeretaapian setiap triwulan kepada:
a. Menteri, untuk perkeretaapian nasional;
b. gubernur, untuk perkeretaapian provinsi; atau
c. bupati/walikota, untuk perkeretaapian kabupaten/ kota.
(2) Laporan penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. jumlah kereta api;
b. frekuensi perjalanan kereta api;
c. jumlah penumpang;
d. jumlah lintas yang dilayani;
e. data gangguan operasi;
f. data kecelakaan;
g. keterlambatan keberangkatan dan kedatangan;
h. pembatalan perjalanan kereta api;
i. kondisi sarana; dan
j. laporan keuangan.
(3) Laporan penyelenggara prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. jumlah kereta api;
b. kapasitas lintas;
c. frekuensi;
d. jumlah lintas yang dilayani;
e. data gangguan operasi;
f. data kecelakaan;
g. keterlambatan keberangkatan dan kedatangan;
h. perubahan Gapeka;
i. kondisi prasarana;
j. pembatasan kecepatan; dan
k. laporan keuangan.
Pasal 165
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 164 ayat (1).
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sebagai dasar untuk melakukan penilaian penyelenggaraan pelayanan oleh penyelenggara
sarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara prasarana perkeretaapian serta untuk menetapkan
kebijakan dalam penyelenggaraan perkeretaapian.
Pasal 166
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara prasarana perkeretaapian tidak
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 dikenai sanksi administrasi berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan izin operasi; dan
c. pencabutan izin operasi.
Pasal 167
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
angkutan kereta api diatur dengan peraturan Menteri.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA SARANA PERKERETAAPIAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Terhadap Penumpang yang Diangkut
Pasal 168
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab terhadap penumpang yang mengalami
kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi penumpang yang luka-luka; dan
b. santunan bagi penumpang yang meninggal dunia.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai sejak penumpang diangkut dari stasiun
asal sampai dengan stasiun tujuan yang tercantum dalam karcis.
Pasal 169
(1) Penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga dari penumpang yang meninggal dunia
sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api harus memberitahukan kepada penyelenggara sarana
perkeretaapian paling lama 12 (dua belas) jam terhitung sejak kejadian.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada penyelenggara sarana melalui
awak sarana perkeretaapian atau petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun terdekat dengan
menunjukkan karcis.
Pasal 170
(1) Dalam hal penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga dari penumpang yang meninggal
dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) tidak dapat memberitahukan kepada
penyelenggara sarana perkeretaapian, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberitahukan
kepada keluarga dari penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia sebagai
akibat pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Penyelenggara sarana perkeretaapian segera memberikan ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi
penumpang yang luka-luka atau santunan penumpang yang meninggal dunia.
(3) Ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi penumpang yang luka-luka atau santunan penumpang yang
meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak kejadian.
Pasal 171
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat
membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan penyelenggara sarana perkeretaapian atau
orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian di atas kereta api.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
Pasal 172
Penyelenggara sarana perkeretaapian ikut bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang merugikan
penumpang yang dilakukan oleh orang yang dipekerjakan secara sah selama pengoperasian kereta api.
Pasal 173
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian santunan, pengobatan, dan besarnya ganti kerugian
terhadap penumpang dan pihak ketiga diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab terhadap Barang yang Diangkut
Pasal 174
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan karena
kelalaian penyelenggara sarana perkeretaapian dalam pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. barang hilang sebagian atau seluruhnya;
b. rusak sebagian atau seluruhnya;
c. musnah;
d. salah kirim; dan/atau
e. jumlah dan/atau jenis kiriman barang diserahkan dalam keadaan tidak sesuai dengan surat
angkutan.
(3) Besarnya ganti kerugian dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami, tidak termasuk
keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan.
Pasal 175
(1) Pada saat barang tiba di tempat tujuan, penyelenggara sarana perkeretaapian segera memberitahukan
kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil.
(2) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender terhitung sejak barang tiba di tempat tujuan
penyelenggara sarana perkeretaapian tidak memberitahukan kepada penerima barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengguna jasa atau penerima barang berhak mengajukan klaim ganti kerugian.
(3) Pengajuan klaim ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada
penyelenggara sarana perkeretaapian dimulai sejak 7 (tujuh) hari kalender sejak diberikannya hak
pengajuan klaim ganti kerugian.
(4) Apabila penerima barang tidak mengajukan klaim ganti kerugian dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), hak untuk mengajukan klaim ganti kerugian kepada penyelenggara sarana
perkeretaapian menjadi gugur.
Pasal 176
Pihak penerima barang yang tidak menyampaikan keberatan pada saat menerima barang dari penyelenggara
sarana perkeretaapian, dianggap telah menerima barang dalam keadaan baik.
Pasal 177
Penyelenggara sarana perkeretaapian dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian apabila:
a. penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang setelah diberitahukan oleh penyelenggara
sarana perkeretaapian;
b. kerugian tidak disebabkan kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian; dan
c. kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.
Pasal 178
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab terhadap barang yang diangkut diatur dengan peraturan
Menteri.
BAB VII
ASURANSI
Pasal 179
Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengasuransikan:
a. tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa;
b. awak sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian di
atas kereta api;
c. sarana perkeretaapian; dan
d. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Pasal 180
(1) Asuransi tanggung jawab terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf a
meliputi:
a. asuransi penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan
oleh pengoperasian angkutan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1); dan
b. asuransi barang terhadap kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan Menteri.
Pasal 181
(1) Asuransi awak sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian di atas kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf b meliputi asuransi
kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja.
(2) Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 182
(1) Asuransi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf c meliputi risiko kerusakan
sarana perkeretaapian.
(2) Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan nilai
pertanggungan paling sedikit senilai sarana perkeretaapian.
Pasal 183
(1) Asuransi kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf d meliputi
luka-luka, cacat, meninggal dunia, dan kerugian harta benda.
(2) Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang asuransi.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 184
Ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api untuk kereta api kecepatan tinggi, monorel, motor induksi
linier, gerak udara, levitasi magnetis, trem, dan kereta gantung, sesuai dengan karakteristiknya diatur dengan
peraturan Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 185
Peralihan masinis menjadi pemimpin perjalanan kereta api dilaksanakan paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 186
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1998 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3777) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 187
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai lalu
lintas dan angkutan kereta api yang ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 188
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 176
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
P E N J E L A S A N
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API
I. UMUM
Perkeretaapian merupakan salah satu moda transportasi yang memiliki peranan yang penting dan
strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh
pemerintah serta pengoperasian/pengusahaan prasarana dan sarana kereta api dilakukan oleh
badan usaha yang dibentuk untuk itu.
Pembinaan di bidang lalu lintas dan angkutan kereta api yang meliputi aspek-aspek pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan lalu lintas kereta api dilaksanakan dengan mengutamakan dan
memperhatikan pelayanan kepentingan umum atau masyarakat pengguna jasa kereta api,
kelestarian lingkungan, tata ruang, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut juga dimaksudkan untuk mewujudkan lalu lintas
dan angkutan kereta api yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur serta terpadu dengan
moda transportasi lain.
Dalam rangka memenuhi kepentingan pemerintah sebagai pembina lalu lintas dan angkutan kereta
api serta memenuhi kepentingan masyarakat pengguna kereta api, maka diwujudkan dalam berbagai
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain mengenai jaringan pelayanan kereta api,
pengoperasian kereta api, pengangkutan orang dan barang dengan kereta api, struktur dan golongan
tarif, tanggung jawab pengangkut dan tata cara pengangkutan orang dan barang serta pelayanan
untuk orang cacat dan orang sakit.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “sub-urban” adalah daerah pinggiran kota.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Keadaan tertentu antara lain:
a. kereta api yang memberikan pertolongan ketika terjadi kecelakaan kereta api; dan
b. kereta api untuk keperluan kerja.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keadaan tertentu antara lain:
a. adanya gangguan operasi misalnya kecelakaan kereta api, kereta api
mogok/rusak;
b. adanya kereta api untuk keperluan kerja; dan
c. sebab lain yang mengakibatkan jalur tidak dapat dilewati.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”jalur kereta api lurus” adalah jalur kereta api di stasiun mulai
dari sinyal masuk sampai sinyal keluar, tidak melalui wesel yang harus dilakukan
pengurangan kecepatan.
Yang dimaksud dengan ”peraturan pengamanan setempat” adalah peraturan
pengamanan yang dilaksanakan di stasiun termasuk petunjuk pengoperasian perangkat
persinyalan.
Ayat (2)
Gangguan operasi antara lain sedang dilakukan perawatan atau perbaikan pada jalur
kereta api tersebut dan/atau rintang jalan.
Yang dimaksud dengan ”jalur kereta api belok” adalah jalur kereta api yang berada di
stasiun selain jalur kereta api lurus yang untuk dilewati perjalanan kereta api setelah
melalui titik pemindah jalur (wesel) dan masinis harus mengurangi kecepatan.
Yang dimaksud dengan ”pengamanan khusus” adalah pengamanan yang dilakukan
dalam rangka pembentukan rute perjalanan kereta api di stasiun.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sifat barang yang diangkut” adalah jenis barang yang karena
sifatnya membahayakan terhadap kualitas barang itu sendiri, perjalanan kereta api, dan
lingkungan sekitarnya, contoh antara lain angkutan rel, angkutan bahan berbahaya dan
beracun, dan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “frekuensi perjalanan kereta api” adalah jumlah perjalanan
kereta api per satuan waktu.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah keadaan dimana Gapeka sudah
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjalanan kereta api luar biasa” adalah perjalanan kereta api
pada saat tertentu atau tidak tercantum dalam Gapeka untuk kepentingan perjalanan
khusus, antara lain untuk kepentingan perawatan, pertolongan, atau kepentingan
kenegaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengaturan perjalanan kereta api oleh petugas pengendali perjalanan kereta api
dilaksanakan dalam rangka ketertiban dan kelancaran pengoperasian kereta api.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “semboyan” adalah suatu pesan atau perintah bagi petugas yang
terkait dengan perjalanan kereta api yang ditunjukkan melalui orang atau alat berupa wujud,
warna, atau bunyi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “isyarat” adalah berupa perintah atau larangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sinyal masuk” adalah sinyal yang berfungsi untuk
memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api
akan memasuki stasiun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sinyal keluar” adalah sinyal yang berfungsi untuk
memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api
boleh berangkat meninggalkan stasiun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sinyal blok” adalah sinyal yang berfungsi untuk memberi
petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa jalur kereta api dibagi
dalam beberapa petak blok.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “sinyal darurat” adalah sinyal yang berfungsi untuk
memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya:
1. Dalam hal sinyal utama berwarna merah dan sinyal darurat tidak menyala
putih (padam), masinis harus memberhentikan kereta apinya di muka sinyal
yang berwarna merah;
2. Dalam hal sinyal utama berwarna merah dan sinyal darurat menyala putih,
masinis boleh menjalankan kereta apinya sesuai dengan kecepatan yang
diizinkan oleh pengatur perjalanan kereta api (setempat, daerah, dan
terpusat); dan
3. Dalam hal sinyal utama (untuk sinyal masuk) tidak dilengkapi dengan sinyal
darurat, masinis menjalankan kereta apinya dengan kecepatan 30 km/jam.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “sinyal langsir” adalah sinyal yang berfungsi untuk
memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa boleh atau
tidak boleh melakukan gerakan langsir.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sinyal pengulang” adalah sinyal yang dapat dipasang
pada peron stasiun, umumnya memiliki banyak jalur dengan frekuensi kereta
yang padat, berfungsi untuk memberi petunjuk sinyal yang diwakilinya:
1. dalam hal sinyal pengulang menyala putih, menunjukkan bahwa sinyal yang
diwakilinya berindikasi aman, pembantu petugas pengatur perjalanan kereta
api (pengawas peron) atau kondektur boleh memberikan tanda kereta api
boleh berangkat; dan
2. dalam hal sinyal pengulang tidak menyala (padam), menunjukkan bahwa
sinyal yang diwakilinya berindikasi tidak aman, pembantu petugas pengatur
perjalanan kereta api (pengawas peron) atau kondektur dilarang
memberikan tanda kereta api boleh berangkat.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sinyal penunjuk arah” adalah sinyal yang berfungsi
untuk memberi petunjuk bahwa kereta api berjalan kearah seperti yang
ditunjukkan oleh sinyal (ke kiri atau ke kanan).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sinyal pembatas kecepatan” adalah sinyal yang
berfungsi untuk memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya
bahwa masinis harus menjalankan kereta apinya sesuai dengan kecepatan
terbatas yang ditunjukkan oleh sinyal pembatas kecepatan:
1. dalam hal sinyal utama berwarna hijau atau kuning dan sinyal pembatas
kecepatan menyala atau menunjukkan angka tertentu masinis boleh
menjalankan kereta apinya (di wesel atau jalur) dengan kecepatan puncak
sesuai dengan angka yang ditunjukkan dikalikan 10; dan
2. dalam hal sinyal utama berwarna hijau atau kuning dan sinyal pembatas
kecepatan tidak menyala (padam), masinis boleh menjalankan kereta apinya
dengan kecepatan puncak sesuai dengan warna sinyal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sinyal berjalan jalur tunggal sementara” adalah sinyal
yang berfungsi untuk memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau
cahaya bahwa kereta api akan berjalan di jalur kiri (jalur tunggal sementara).
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “pembeda” adalah membedakan suatu bentuk yang sama tetapi
fungsi atau nama berbeda, misalnya bentuk fisik sinyal muka dan sinyal blok tertutup
bentuknya sama persis, maka untuk membedakan keduanya diberi marka.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemeriksaan kesehatan dilakukan hanya untuk masinis dan asisten masinis.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jam induk di stasiun” adalah jam yang menjadi acuan di setiap
stasiun pemberangkatan.
Untuk menjamin keselamatan dan ketepatan waktu, jam di semua stasiun harus sama
dan pada setiap pukul 09.00, harus dilakukan pencocokan tanda waktu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Tanda pada ujung belakang kereta api yang disebut tanda akhiran dimaksudkan
sebagai tanda akhiran rangkaian kereta api.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “otomatis tertutup” adalah sinyal blok menunjukkan tidak
aman pada kondisi jalur tidak ada perjalanan kereta api yang pelaksanaannya
dilakukan secara otomatis oleh peralatan itu sendiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “otomatis terbuka” adalah sinyal blok menunjukkan aman
pada kondisi jalur tidak ada perjalanan kereta api yang pelaksanaannya dilakukan
secara otomatis oleh peralatan itu sendiri.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Pengawasan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api dilakukan secara fisik untuk
perangkat persinyalan mekanis atau melalui indikator untuk perangkat persinyalan
elektris.
Petugas lain antara lain petugas peron (PAP) dan pengawas emplasemen (PE).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Pengembalian kedudukan persinyalan pada posisi awal tidak diperlukan untuk peralatan
persinyalan elektris karena sinyal akan kembali secara otomatis setelah kereta api melewati
wesel terjauh di stasiun.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Tidak memungkinkannya masinis memastikan bagian belakang rangkaian kereta api tidak
terlihat antara lain rangkaian panjang, lengkung, tebing, dan jembatan.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Petugas pengatur perjalanan kereta api dalam sistem persinyalan mekanis sebelum
memasukkan kereta api ke stasiun terlebih dahulu menyakinkan keamanan jalur kereta
api dengan melakukan komunikasi dengan petugas pengatur perjalanan kereta api
stasiun sebelumnya dan stasiun berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pelaksanaan pengawasan dalam ketentuan ini dilakukan:
a. di luar ruangan pengatur perjalanan kereta api dalam sistem persinyalan mekanik,
pengawasan tersebut termasuk mengawasi tanda akhiran kereta api; atau
b. di meja pelayanan untuk pengaturan dalam sistem persinyalan elektris.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhenti” adalah berhenti sementara untuk keperluan naik
turun penumpang/barang, persilangan, penyusulan, dan untuk keperluan operasi
lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “berjalan langsung” adalah kereta api sesuai Gapeka, Malka,
atau Tem tidak berhenti di stasiun.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah-langkah untuk mengurangi keterlambatan perjalanan kereta api antara lain
melakukan pemindahan persilangan atau penyusulan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Alasan teknis operasi antara lain gangguan pada prasarana perkeretaapian,
ketersediaan sarana perkeretaapian, rintang jalan, dan gangguan alam.
Ayat (2)
Kompensasi dapat berupa pemberian makanan dan minuman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Alasan teknis operasi antara lain gangguan pada prasarana perkeretaapian,
ketersediaan sarana perkeretaapian, rintang jalan, dan gangguan alam.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah kondisi bagian rangkaian
kereta api secara teknis tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Pada prinsipnya masinis hanya dapat berkomunikasi dengan petugas pengendali
perjalanan kereta api. Dalam hal sistem pengendalian perjalanan kereta api belum
dilengkapi peralatan komunikasi yang dapat berhubungan langsung dengan pengendali
perjalanan kereta api, maka masinis dapat berkomunikasi langsung dengan petugas
pengatur perjalanan kereta api.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tindakan pengamanan berupa kegiatan menghentikan bagian kereta api yang
terputus dan meluncur ke belakang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rintang jalan” adalah terdapat benda, gangguan, atau
kerusakan pada jalur yang mengakibatkan petak blok tidak dapat dilalui kereta api.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peristiwa alam” adalah banjir, gempa bumi, badai, tanah
longsor, gunung meletus, wabah penyakit, dan/atau sebab lain yang disebabkan
oleh alam.
Huruf b
Kecelakaan dapat disebabkan oleh:
1. tabrakan kereta api dengan kereta api atau dengan moda lain;
2. kereta api sebagian atau seluruhnya keluar rel; dan/atau
3. kecelakaan lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan prasarana perkeretaapian” adalah gangguan
yang disebabkan oleh kerusakan pada prasarana kereta api seperti rel patah,
bantalan rusak, penambat rusak, tubuh ban ambles, kerusakan wesel, kerusakan
instalasi listrik, dan/atau gangguan prasarana kereta api lain yang menyebabkan
rintang jalan.
Huruf d
Sebab lain yang mengancam keselamatan perjalanan kereta api antara lain
peperangan, kerusuhan, revolusi, pemogokan, kebakaran, gangguan industri,
dan/atau sabotase.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “stasiun terdekat” adalah stasiun berikutnya yang
tersedia jalur pemberhentian kereta api.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tempat lain antara lain balai yasa, depo, atau jalur yang mempunyai atau tersedia
kegiatan untuk langsiran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masinis dalam mengoperasikan kereta api antarkota dibantu oleh asisten masinis dalam
rangka untuk lebih menjamin keselamatan perjalanan kereta api dan menghindari
kesalahan membaca sinyal, tanda, atau marka, hal ini dikarenakan:
a. spesifikasi tenaga penggerak (lokomotif) dengan kabin yang sewaktu-waktu
berubah posisi sehingga masinis tidak dapat membaca sinyal, tanda, atau marka
yang berada di sebelah kiri; dan/atau
b. kereta api antarkota dapat melaju dengan kecepatan maksimum yang diizinkan
sehingga diperlukan pembacaan sinyal, tanda, atau marka dengan cepat.
Ayat (3)
Masinis dalam mengoperasikan kereta api perkotaan dapat dibantu oleh asisten
masinis, hal ini dikarenakan spesifikasi kabin masinis kereta api perkotaan selalu
berada di depan rangkaian sehingga masinis mempunyai jarak pandang bebas untuk
dapat membaca sinyal, tanda, atau marka.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Masinis dalam menjalankan kereta api tidak dapat memastikan adanya petugas
pengatur perjalanan kereta api maka harus mematuhi sinyal yang ada.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Petugas lainnya antara lain pramugari, petugas restorasi, dan petugas kebersihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Melakukan perbaikan ringan peralatan atau fasilitas kereta api dan/atau sarana kereta api dan
mengoperasikan fasilitas kereta api dan/atau sarana kereta api, antara lain mengoperasikan
peralatan pengereman, menjaga berfungsinya sistem kelistrikan, alat pendingin udara, serta
perbaikan ringan lokomotif, kereta, dan gerbong bila mengalami gangguan.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kereta bagasi” adalah kereta yang diperuntukkan bagi
penempatan barang-barang milik penumpang dan/atau barang kiriman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “barang berbahaya” adalah barang yang bersifat mudah
terbakar dan menimbulkan ledakan, bahan peledak, senjata api, sejenis minyak
dan bahan lain yang mudah tersulut api, kecuali dalam jumlah tertentu dan
dikemas sehingga dijamin tidak membahayakan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “barang terlarang” adalah barang yang mudah
membusuk, barang sejenis alkohol, narkotika dan obat-obatan terlarang, barang
yang dapat mengganggu penumpang lain karena kotor dan/atau berbau, barang
yang kemungkinan dapat menghalangi tempat duduk atau koridor dan barang
yang mungkin akan mengganggu penumpang lain, mayat tanpa izin, dan
binatang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Keadaan darurat antara lain bencana alam, huru hara, dan perang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “kelas pelayanan” adalah kelas ekonomi dan non
ekonomi.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kemudahan naik/turun penumpang” adalah apabila
lantai stasiun/peron lebih rendah dari lantai dasar kereta, harus disediakan
tangga untuk membantu penumpang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Untuk memenuhi persyaratan minimun kereta api perkotaan,
penyelenggara sarana perkeretaapian yang telah mengoperasikan sarana
perkeretaapian segera membuat program pentahapan pemenuhannya.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kereta bagasi” adalah kereta yang diperuntukkan bagi
penempatan barang-barang milik penumpang dan/atau barang kiriman.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bahan berbahaya dan beracun” adalah bahan atau
benda yang sifat dan ciri khasnya dapat membahayakan keselamatan, kesehatan
manusia, makhluk hidup lainnya, dan ketertiban umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “limbah bahan berbahaya dan beracun” adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud “barang aneka” adalah barang yang terdiri dari bermacammacam
jenis yang karena sifatnya tidak memerlukan pengepakan dan
pengamanan khusus dalam pemuatan, pengangkutan, pembongkaran, dan
penyusunan barang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “barang dengan berat tertentu” adalah barang yang
karena beratnya memerlukan pengepakan dan pengamanan khusus dalam
pemuatan, pengangkutan, pembongkaran, dan penyusunan barang sehingga
berat barang dapat terdistribusi pada roda kereta api dan tidak melebihi
kemampuan daya dukung sarana perkeretaapian, jalur kereta api, dan jembatan.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan tarif” adalah
untuk melindungi pengguna jasa memperoleh jaminan pelayanan publik yang sesuai
dengan kelas pelayanan.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
Sifat dan karakteristik tertentu antara lain berat, dimensi, dan nilai dari barang yang
diangkut.
Ayat (2)
Huruf a
Negosiasi dapat dilakukan untuk angkutan barang yang dilakukan secara
terjadwal dan volume besar, dan/atau terus-menerus.
Huruf b
Kesepakatan atas tarif yang telah ditetapkan oleh penyelenggara sarana
perkeretaapian dalam hal ini pengguna jasa setuju dengan daftar tarif yang telah
dikeluarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Badan usaha tertentu antara lain usaha penambangan batu bara, usaha perkebunan,
dan pariwisata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak yang diluar pengguna jasa dan
penyelenggara sarana perkeretaapian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 172
Yang dimaksud dengan “segala perbuatan” adalah segala perbuatan yang terkait dengan
pengangkutan atau pengoperasian kereta api.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5086